Breaking News

[Antologi Puisi] Replika Lilin-Lilin Kecil

Berawal dari sebuah percakapan "tak serius" di kantin kampus. Saya dan beberapa teman kebetulan aktif di beberapa organisasi dan komunitas, baik organisasi internal kampus, komunitas seni maupun komunitas sosial yang sedang berkembang di sekitar civitas akademika. Di sela-sela mengerjakan tugas akhir,kami masih saja sibuk dengan kegiatan-kegiatan di luar jam kuliah. Kadang malah sampai mengalahkan jam kuliah demi mensukseskan kegiatan tersebut.

Politeknik Negeri Ujung Pandang alias "Kampus Hitam" adalah kampus yang sangat berbeda dengan yang lainnya. Mengapa disebut "Kampus Hitam"? Itu karena kedisiplinannya. Masuk pagi pulang sore, itu sudah biasa. Para lulusannya dipersiapkan untuk siap terjun dalam dunia kerja. Tapi bagi kami, berbekal pengetahuan akademik saja tak cukup. Bersosialisasi dengan baik itu juga penting,peka terhadap lingkungan itu juga penting, menolong sesama itu juga lebih penting. Intinya hard skill dan soft skill itu harus dipunyai dan seimbang.

Di tahun terakhir perkuliahan, peristiwa ini terjadi. Saat kehidupan seni dan sastra di kampus begitu kering kerontang seperti taman tak berbunga. Saya mulai bergerilya mencari karya teman-teman yang mungkin bisa untuk disatukan dalam sebuah karangan bunga alias antologi. Irsyad, telah menyiapkan tema dan cover untuk buku ini. Akhirnya jadilah "Replika Lilin-Lilin Kecil".

Menurut KBBI, kata replika adalah sebuah kata benda yang berarti duplikat; tiruan. Tiruan benda apapun yang akan kita tiru. Nah, lilin itu sendiri adalah sebuah bahan terbuat dari parafin, mudah mencair bila dipanaskan dan dapat dipakai sebagai pelita. Saya mengiyakan konsep dari Irsyad ini, dengan memahami bahwa kita hidup di dunia, sebisa mungkin adalah untuk bekerja dan bermanfaat untuk orang lain. Atau, dengan kata lain, kita bisa menjadi pelita bagi kehidupan orang banyak meski kita sendiri masih banyak keterbatasan. Lilin menyala, menerangi sekitar, tapi tubuhnya sendiri leleh, luluh termakan api. Kendati demikian, lilin tetap ikhlas menjalaninya.

Mungkin akan sejalan dengan kehidupan mahasiswa yang selalu menyibukkan diri dalam berbagai kegiatan di luar jam perkuliahan--istilah kerennya disebut aktivis. Hidup pas-pasan di kost-an, kelelahan, kelaparan, dan sebangsanya itu terjadi setiap hari. Karena kiriman dari orang tua terlambat, bahkan tersendat. Sarapan pagi bukannya nasi, tapi obat maag. Untungnya, saya sudah terbiasa tidak sarapan pagi, dengan air putih pun cukup untuk membekali diri hingga siang hari. Dengan kondisi seperti itu, mereka pun tetap menjalankan perannya. Rasa lapar itu terobati setelah program-program mereka terlaksana. Tapi tak bisa dipungkiri, sampai kost-an, rasa lapar itu mendera lagi. Tiada kapoknya mereka bergiat mengadakan kegiatan-kegiatan di organisasi maupun komunitasnya yang semoga bermanfaat bagi sesama. Begitulah saya ibaratkan mereka, seperti lilin-lilin kecil yang menerangi lainnya meski mereka harus lapar dan dahaga, meski mereka harus sakit di akhirnya.



Di cover belakang, Irsyad menuliskan begini:

Bahwa setiap dari kita punya mimpi dan tujuan

Setiap dari kita adalah harapan bagi mereka
Tapi banyak dari kita yang tak tentu akan arah

Majulah

Gapailah lilin-lilin kecil pembawa terang itu
Bagikan sinar pada mereka
Dan sampaikan
Kitalah replika lilin-lilin kecil itu


Ya, memang sejatinya kita adalah harapan bagi mereka, orang-orang yang membutuhkan uluran tangan kita. Tak perlu "muluk-muluk", berikan saja apa yang bisa kita berikan. Salah satunya dengan buku antologi puisi ini kami melakukannya.

Semoga buku pertama yang saya susun ini senantiasa mengingatkan kita akan pentingnya berbagi. Seberapa pun yang kita mampu. Dengan lumayan berat, saya mengumpulkan karya teman-teman. Melalui "mouth to mouth" saya mencoba mendekati dan meminta karya teman-teman untuk dibukukan bersama. Dengan tujuan untuk mempererat persaudaraan dan memajukan literasi di kampus, saya menyusunnya. Di dalamnya tertoreh berbagai tema dalam kehidupan, baik suka maupun duka. Jadilah lilin saja, sebelum kita menjadi rembulan yang menerangi bumi dengan pantulan sinar mentari. Dan seiring waktu, jika ikhlas itu terbangun, maka orang lain lah yang akan menilai kita, apakah kita ini masih menjadi lilin, sudah menjadi rembulan, atau bahkan sudah menjadi matahari bagi mereka.

No comments

Terima kasih telah berkunjung. Berkomentarlah dengan sopan dan bijak sesuai konten.