Breaking News

[Apresiasi Puisi] Memasuki Ruang Gelap Gua Semurup Persinggahan Pangeran Puger



Oleh Asrul Sanie*)


Puisi merupakan jenis sastra imajinatif yang mengutamakan unsur fiksionalitas, nilai seni, dan rekayasa bahasa (Najid, 2002:18). Oleh karena itu, dalam puisi, komunikasi yang terjadi sering berbeda, karena tidak hanya menunjukkan pada apa yang tersurat tetapi juga pada apa yang tersirat. Mengapresiasi puisi bisa dilakukan dengan berbagai metode sesuai tingkat pengetahuan dan pemahaman pembaca atau apresiator.

Puisi-puisi Badrun N.S. dalam Antologi Puisi Oranye—sebuah buku kumpulan puisi yang ia garap bersama 16 penyair lainnya dari UAD Yogyakarta—cukup menarik hati saya untuk menyelaminya. Selain gambaran ungkapan perasaan, kelahiran puisi-puisinya juga dilatarbelakangi oleh nilai historis dan semangat lokalitas. Ada sebuah peristiwa yang mungkin saja bagi sebagian masyarakat belum mengetahuinya. Badrun membuka kembali peristiwa penting di masa lalu dengan cara menulis beberapa puisi dalam buku ini. Dengan pendekatan historis dia bermaksud memahamkan kepada khalayak akan suatu peristiwa penting di tanah kelahirannya. Mari kita simak sebuah puisi berikut ini:

Batas Doa di Gua Semurup
: Persinggahan Pangeran Puger

Sampailah ia di batas sebuah doa
Pembaringan dan sebuah pilihan
Remuk-redam segala mimpi
Tentang hutan kelakar dan batu cadas yang tajam
Tentang sungai merajam di depan matanya
Mengalir sampai ulu hati

Nun, di seberang
Anak-cucu bersimbah keluh berebut matahari
Pusaka tak sebatas kemilau
Cermin jati diri manusia

Duh, pohon pemayung jiwa
Jadilah kau penyambung keruh
Sumur Jalatunda saksi kesucian
Menjaga kekosongan atas pelarian
Ceruk memindaik jadi Gua Semurup, urup
Bersemayam pusaka, gendhing, serta rumah pualam
Ingatkan kembali meniris nira

Temanggung, 2015

Kita sebagai pembaca, atau kita sebagai apresiator, terkadang mengalami kesulitan dalam memahami struktur batin sebuah puisi. Puisi yang dilahirkan oleh seorang penyair seringkali bersifat prismatis, banyak makna yang ingin disampaikan. Bahkan ada puisi-puisi tertentu yang begitu ‘gelap’ sehingga pembaca pun merasa sangat kesulitan untuk memahami. Tapi Badrun dalam puisi ini membantu kita dengan tanda, dengan kata kunci untuk membuka ruang pemahaman pembaca. Ia memberi kita kata kunci pada judul yaitu frase ‘Gua Semurup’, yang merupakan nama sebuah tempat, kemudian pada sub judul yaitu sebuah frase ‘Persinggahan Pangeran Puger’, yang berfungsi menguatkan peran judul tersebut, serta pada titimangsa yaitu kata ‘Temanggung’, tempat lahir puisi dan juga penulisnya.

Lalu apa hubungan Gua Semurup dengan Pangeran Puger? Kita tarik benangnya pelan-pelan dan sambungkan dengan keduanya. Kita lihat bait pertama yang sudah saya parafrasekan berikut ini:

Sampailah ia di batas sebuah doa
(tempat) Pembaringan dan sebuah pilihan
(maka) Remuk-redam(lah) segala mimpi (itu)
(mimpi) Tentang hutan kelakar dan batu cadas yang tajam
(mimpi) Tentang sungai merajam di depan matanya
(yang) Mengalir sampai (ke) ulu hati

Gua Semurup barangkali pernah menjadi tempat persinggahan Pangeran Puger. Gua itu terletak di Desa Plosogaden, Kecamatan Candiroto, Kabupaten Temanggung. Dari beberapa sumber—yang tersebar di internet, Pangeran Puger dikisahkan pernah terusir dari Kartasura saat Amangkurat III hendak menghancurkan keluarga Puger.
Berawal dari meninggalnya Amangkurat II pada tahun 1703. Tahta Kartasura jatuh ke tangan putranya, yang bergelar Amangkurat III. Menurut Babad Tanah Jawi, ketika Pangeran Puger datang melayat, ia melihat kemaluan jenazah Amangkurat II berdiri, dan dari ujung kemaluan tersebut muncul setitik cahaya yang diyakini sebagai wahyu keprabon. Siapa pun yang mendapatkan wahyu tersebut akan menjadi raja tanah Jawa. Ternyata Pangeran Puger berhasil menghisap cahaya tersebut tanpa ada seorang pun yang melihatnya.

Sejak saat itu dukungan terhadap Pangeran Puger berdatangan karena banyak yang tidak menyukai tabiat buruk Amangkurat III. Hubungan antara paman dan keponakan tersebut pun diwarnai ketegangan. Kebencian Amangkurat III semakin bertambah ketika Raden Suryokusumo, Putra Puger memberontak.

Pada puncaknya, yaitu bulan Mei 1704 Amangkurat III mengirim pasukan untuk membinasakan keluarga Puger, namun Pangeran Puger dan para pengikutnya lebih dahulu mengungsi ke Semarang. Tumenggung Jangrana, bupati Surabaya, yang ditugasi memimpin pasukan itu, ternyata diam-diam justru memihak pada Puger sehingga pengejarannya hanya bersifat sandiwara belaka.
Bupati Semarang yang bernama Rangga Yudanegara bertindak sebagai perantara Pangeran Puger dalam meminta bantuan VOC. Kepandaian diplomasi Yudanegara berhasil membuat VOC memaafkan peristiwa pembunuhan Kapten Tack yang dilakukan oleh Untung Suropati. VOC menyediakan diri membantu perjuangan Pangeran Puger, tentu saja dengan perjanjian yang menguntungkan pihaknya. Isi Perjanjian Semarang yang terpaksa ditandatangani Pangeran Puger antara lain penyerahan wilayah Madura bagian timur kepada VOC.
Nah, jika dilihat dari kondisi geografis—jarak antara Semarang dan Temanggung yang sangat dekat, mungkinkah Pangeran Puger singgah di Gua Semurup yang berada di wilayah teritorial Kabupaten Temanggung? Ya, mungkin saja, saya percaya Badrun memiliki referensi yang kuat karena dia tumbuh besar di desa tempat gua itu berada.

Bait pertama bercerita kepada kita bahwa Pangeran Puger telah singgah dan beristirahat di gua tersebut. Ia memilih untuk menyingkir sejenak dari hiruk-pikuk kehidupan kerajaan. Ia memilih lari dari keterlibatan terhadap kekerasan, keserakahan, dan ketidakrukunan yang terjadi di antara keluarga mereka. Kondisi keluarga yang bising itu membuatnya memilih pergi.
Puger sadar bahwa tahta, harta, kuasa, kecerdasan, dan hal besar lainnya bukanlah semata ditujukan untuk menyombongkan diri. Semua itu harus digunakan sebagaimana mestinya, tak semena-mena, karena tingkat kemantapan jati diri seseorang bisa dilihat dari seberapa dia rendah hati, tak serakah, dan tak merebut hak orang lain. Bisa jadi memang hanya Pangeran Puger yang bisa mengemban amanah wahyu keprabon itu karena level kejatidiriannya sudah terpenuhi. Bisa kita lihat pada bait kedua yang telah saya parafrasekan berikut:

Nun, di seberang (sana)
Anak-cucu bersimbah keluh berebut matahari
(ketahuilah!) Pusaka (itu) tak (hanya) sebatas kemilau (diri)
(tapi) Cermin (sebuah) jati diri (manusia)

Bait tersebut menceritakan tentang perebutan pengaruh dan tahta yang terjadi di lingkungan keluarga kerajaan Pangeran Puger. Frasa ‘berebut matahari’ saya rasa cukup kuat untuk menggambarkannya. Matahari, sesuatu yang paling terang, mungkin adalah tahta itu. Nun, di seberang (sana), sebuah kerajaan yang Pangeran Puger tinggalkan. Baris ketiga dan keempat, //pusaka tak sebatas kemilau, cermin jati diri// menguatkan kembali pesan moral seperti yang saya paparkan di paragraf sebelumnya.
Kita simak parafrase bait terakhir sekarang:

Duh, pohon pemayung jiwa
Jadilah kau penyambung (pengobat) keruh
Sumur Jalatunda (jadi) saksi kesucian
(yang) Menjaga kekosongan atas (sebuah) pelarian.
(sebuah) Ceruk memindaik (men)jadi Gua Semurup, urup
(tempat) Bersemayam pusaka, gendhing, serta rumah pualam
(yang) (meng)Ingatkan kembali (pada peristiwa yang) meniris nira

Duh ..., kata tersebut mewakili sebuah permohonan atau bisa pula sebuah belaian manja seorang ibu kepada anaknya. Misalnya, “Duh, cah bagus, anakku sing tak tresnani.” Dari ‘duh’ itu, penulis sedang berperan sebagai subjek. Dia sedang bersiap, berdiri di bawah pohon beringin, ingin memasuki ruang gelap sejarah tempat persinggahan Pangeran Puger tersebut. Di dekatnya ada Sumur Jalatunda yang sering digunakan untuk bersuci Pangeran Puger, dan mungkin juga sampai sekarang sumur itu masih digunakan oleh masyarakat setempat.

Sebuah ceruk, rongga terdalam di hatinya memindaik—lebih tepatnya memindai—memandang lekat dan lama kepada Gua Semurup di depannya. Pandangannya menjadi urup, bahan bakar, pemantik api untuk menerangi jalannya memasuki ruang gelap Gua Semurup, persinggahan Pangeran Puger. Gua Semurup tempat bersemayamnya pusaka dan benda-benda warisan budaya. Gua Semurup yang mengingatkan akan peristiwa yang meniris nira—air enau yang menjadi gula merah, gula merah leleh menggambarkan pertumpahan darah.

Dari keseluruhan tubuh puisi, kita simpulkan bahwa penulis sedang membaca kondisi sekitar melalui pendekatan geografis dan historis. Hasil pembacaanya, dituangkan pada bait pertama dan kedua, sedangkan proses membacanya ia lakukan pada bait ketiga. Ini adalah kebebasan dan kepiawaian penulis dalam menata bentuk, alur, dan sebagainya, atau sering kita sebut dengan penataan struktur fisik dan batin puisi tersebut.

Ia menyibak kembali peristiwa lama yang terjadi di sebuah gua di dekat rumahnya. Dari baris-baris yang dihadirkan, ia mampu menyiratkan pesan-pesan moral yang berguna, mencerahkan, menyadarkan bagi manusia, sepanjang zaman. Begitulah seharusnya. Tugas utama penyair, kata Iman Budhi Santosa, pertama-tama adalah ‘membaca’ kehidupan dan seluruh fenomena alam semesta ini.

Demikian. Apresiasi ini tentunya tak lepas dari kesalahan dan kekeliruan. Maafkan.


*) Asrul Sanie, pegiat literasi, berjalan bersama teman-teman KSS3G Temanggung

No comments

Terima kasih telah berkunjung. Berkomentarlah dengan sopan dan bijak sesuai konten.