Cita-Cita di Keranjang Sepeda
Sumber gambar: https://pixabay.com/
Mamet kebingungan. Penasaran. Dibalik-baliknya buku itu
dengan sebatang kayu. Buku lusuh yang ditemukannya di pinggir jalan dan
tertimbun daun-daun kering. Di sampul depan tercantum tulisan: “Bahasa
Indonesia untuk Kelas 1 SMP”. Lalu, dibacanya buku itu. Seketika muncullah rona
bahagia di wajahnya. “Mungkin buku ini bisa kugunakan untuk membujuk orang
tuaku,” katanya sambil tersenyum.
Semenjak tamat SD, anak itu ingin
sekali melanjutkan sekolah. Tapi, ayah dan ibunya−yang pemikirannya agak
kolot−tidak pernah setuju. Mereka tidak sanggup membiayai anaknya yang
benar-benar mau melanjutkan sekolah itu. Dan sekarang sudah tahun kedua dari
kelulusannya, keinginannya belum juga tercapai.
“Mbok[1], aku mau sekolah,
ini aku sudah punya buku.” Nadanya lirih penuh harap sambil menunjukkan buku
yang baru saja ditemukannya itu.
“Jangan, Met!” bentak ibunya, “nanti
kenceng, dandang, dan kendil[2] kita bisa melayang.”
Ibunya membuang muka.
Degg!!! Kata-kata itu seperti
pukulan bogem besar mengenai dadanya. Bagaimana jadinya kalau ibu sudah tidak
rela anaknya sekolah? Seandainya melawan, mungkinkah ia kualat? Tapi, apa salah
jika melawan untuk kebaikan?
Mamet menjadi sering merenung.
Setelah penolakan ibunya, ia seperti orang gila. Hari-harinya kelabu. Matanya
mendung. Lalu disusul derai-derai gelisah dari matanya. Bunga harapannya
semakin kusam. Tak subur seperti teman-teman sebayanya yang anak orang-orang
berada. Setiap pagi, ia hanya bisa menelan ludah, menyaksikan teman-temannya
pergi ke sekolah.
Sebenarnya, tak sulit baginya menempuh jarak sejauh delapan
kilometer. Sepeda jengki miliknya, sering dibawanya melintas ke daerah yang
lebih jauh, melampaui jarak itu. Kendala tersulit baginya hanyalah sebuah restu
yang tak kunjung didapatkannya. Sampai sekarang ibunya tak juga memberinya
kesempatan.
Masyarakat desa—yang kebanyakan tak berpendidikan—selalu
merasa was-was bila berurusan dengan pejabat pemerintah. Begitulah kira-kira
yang dirasakan orang tuanya. Takut dan khawatir kalau sampai tidak bisa
membayar SPP per bulan. Para guru itu, anggapan mereka, juga adalah pejabat
pemerintah yang mengerikan.
***
“Mamet mau sekolah, Pak. Boleh, Pak?” Kali ini ia memohon
pada ayahnya.
“Kamu dengar ndak apa kata mbokmu kemarin, Met? Mending kamu di rumah bantu bapakmu cari
rumput,” ayahnya menimpal.
“Tapi, Pak, aku harus sekolah! Aku pengen pintar seperti
teman-temanku, Pak.”
“Sudah! Diam! Jangan ngeyel terus!” Suara ayahnya semakin
meninggi. Lalu pergi dengan membawa bilahan tali pengikat rumput ternak.
Mamet tak bisa berkutik. Lengkap sudah penolakan itu ia
dengar dari kedua orang tuanya. Setiap malam tiba, matanya sulit terpejam. Di
benaknya penuh dengan angan dan harapan.
***
Saat siang hari—sekadar melepas penat dan mengisi waktu
luang, Mamet sering mendatangi bengkel sepeda di dekat pasar. Di sana ia banyak
belajar. Kang Diro—pemilik bengkel sepeda itu—merasa senang karena Mamet selalu
membantu pekerjaannya. Mamet dianggap seperti adiknya sendiri. Dari situlah
keinginannya semakin menggelora. Ia ingin sekolah yang tinggi dan menjadi
desainer khusus sepeda jengki. Sepeda kesukaanya.
Setiap kali ke
bengkel Kang Diro, tak lupa ia membawa buku yang ditemukannya itu. Disimpannya
buku itu di dalam keranjang sepeda. Lalu, ia akan membacanya saat beristirahat.
Dengan lantang dan berulang-ulang, sebuah puisi dalam buku
itu selalu dibacanya. Baginya, puisi itu menyulut semangat dan kekuatan. Di
halaman sembilan, tertulis:
BERGEGASLAH
KAWAN
Harapan di
tangan kalian
Yang selalu
bangga pada negeri
Dan mengisi
hari-hari
Dengan bakti
dan pengorbanan
Kemajuan di
tangan kalian
Putra-putri
berdikari
Negeri yang
indah ini
Jangan
sia-siakan
Tingkah Mamet memang—bagi sebagian orang di sekitar
bengkel—terlihat aneh. Mengepal tangannya saat membaca dan matanya
berkaca-kaca. Namun, bagi Kang Diro, hal itu justru mengundang rasa simpati dan
penasaran.
Kang Diro mendekati tempat duduk Mamet sambil mengambil
kunci roda dari kotak peralatan.
“Bolehkah aku main ke rumahmu, Met?” tanya Kang Diro.
“Boleh, Kang, ayo!” jawab Mamet dengan gembira, “ini yang
kutunggu dari dulu. Jadi, mau kapan ni, Kang?”
“Nanti sore setelah pekerjaan ini kita selesaikan.”
“Baik, Kang. Siap!”
Mamet meletakkan bukunya di pangkuannya. Tangan kanannya
meraih pisang goreng yang baru saja dibelinya dari warung di samping kiri
bengkel itu. Lahap sekali dia.
***
Semua peralatan telah dibereskan.
Setelah mencuci tangannya, Mamet menyimpan bukunya di keranjang sepeda. Kang
Diro pun sudah selesai berkemas.
Sore itu, mereka berangkat menuju
rumah Mamet. Masing-masing mengendarai sepeda. Sepeda milik Kang Diro antik dan
cantik. Produk China, keluaran tahun 1970. Onderdilnya masih asli. Catnya masih
asli. Kimpling[3].
Kang Diro dapatkan dari kakeknya yang dahulu bertugas sebagai tukang antar
surat di desanya.
Sepeda milik Mamet tak tergolong
antik, tapi tetap cantik. Sejak kenal Kang Diro, ia jadi bisa merawat
sepedanya. Mulai lampu, ban, rantai, rem depan dan belakang, dan juga keranjang
sepeda, tempat bukunya itu. Semua diperhatikan.
Sampailah mereka di rumah. Ayah Mamet menyambutnya. Lalu
mereka duduk di teras rumah, di sebuah bangku dari bambu.
“Met, ganti baju dulu sana!” seru Ayahnya.
Mamet beranjak. Tapi ia membiarkan bukunya tetap tergeletak
di keranjang sepedanya.
Di bangku bambu itu sekarang tinggal berdua, Kang Diro dan
ayahnya. Kang Diro mengawali pembicaraan.
“Pripun[4] to, Pak? Ada apa
dengan Mamet, Pak? Kok dia seperti anak yang sedang punya keinginan yang belum
bisa dia dapatkan?” tanya Kang Diro.
“Ngeten[5] lho, Kang, Mamet
lagi pengen banget mau sekolah, tapi kami ini ndak bisa penuhi. Kami khawatir
ndak bisa ngasih sangu[6] setiap harinya dan
bayar uang bulanannya. Sekolah jauh juga dari sini, kan?”
“Pak Karto ndak mau to
anaknya pintar, lebih baik dari bapaknya kelak? Ndak mau anaknya bisa
membanggakan Pak Karto sekeluarga?”
“Ya, mau, Kang. Tapi, untuk saat ini, apa yang bisa kami
lakukan? Kami hanya petani kecil, Kang.”
“Pak Karto jangan khawatir! Aku bisa bantu ngasih jalan
keluarnya. Mau?”
“Tapi, Kang ….”
Obrolan serius terputus saat tiba-tiba Mamet keluar dan
menghampiri. Rupanya Mamet mendengar obrolan mereka dari ruang dalam. Wajahnya
terlihat kuyu dan lesu.
“Ayolah, Pak! Aku mau sekolah,” rengeknya.
“Iya, Met, tapi …,” sangkal ayahnya.
“Aaaahh!!!” ketusnya. Mamet meraih sepedanya. Lalu bergegas
pergi dengan muka masamnya.
***
Esok harinya …
“Sebenarnya, aku mau segera membantumu, meskipun kedua orang
tuamu belum mengizinkan. Banyak sahabatku di yayasan sosial yang selalu
memperhatikan dunia pendidikan. Yang selalu mencari anak-anak sepertimu. Ingin
mewujudkan cita-cita anak-anak sepertimu. Kemana kamu, Met?” Kang Diro bergumam
sendiri. Pandangannya berkeliaran di sela-sela jeruji dan rantai yang tergerai
ke tanah. Mengatasi kerusakan itu, biasanya diserahkan kepada Mamet. Ia sudah
lihai.
Hari makin terik dan menyengat tengkuk. Hampir setiap orang
yang mampir di bengkel itu bertanya-tanya tentang Mamet yang biasanya hadir di
tengah mereka dan sekarang hilang tanpa berita. Puisi di halaman sembilan itu
tak dilantunkannya lagi.
Seorang tetangga mengatakan bahwa Mamet pun tak tampak di
rumahnya. Aneh. Orang tuanya tak begitu peduli. Entahlah, mengapa begitu.
Mungkin lantaran merasa selalu didesak oleh anaknya. Dan ketika anaknya pergi,
mereka merasa lega. Itu hanya persangkaan saja. Bisa benar, pun bisa salah.
Seorang lagi berkata bahwa Mamet sedang duduk di pinggir
telaga. Seperti sedang beristirahat dan baru saja membersihkan badannya.
Mungkin Mamet baru saja pulang dari suatu tempat. Atau mungkin sedang berdiam
diri saja di sana.
Mungkinkah dia baru saja pulang dari sekolah—yang sejauh
delapan kilometer—itu? Dengan sepeda jengkinya? Bukunya, apa masih ada di
keranjang sepedanya? Helaan napas Kang Diro begitu dalam dan panjang. “Apakah
cita-citamu akan tetap tersimpan dan tertahan di keranjang sepedamu, Met?” Kang
Diro bergumam lagi.
***
Penulis:
Asrul
Sanie, menyukai menulis dan seni. Saat ini bertempat tinggal di Temanggung Jawa
Tengah. Email: asrulsanie1@gmail.com.
Menurut kabar dari http://www.suarapembaca.net/, cerpen ini dimuat di Radar Banyuwangi, 19 Juni 2016.
[1] Mbok (Jawa) n kata
sapaan terhadap wanita; ibu
[2] kenceng, dandang, kendil (Jawa) n jenis
perabotan dapur; periuk terbuat dari tembaga, besi, atau aluminium
[3] kimpling (Jawa) v
mengkilap
[4] pripun (Jawa) pron
bagaimana
[5] ngeten (Jawa) pron begini; seperti ini
[6] sangu (Jawa) n bekal berupa uang/makanan
No comments
Terima kasih telah berkunjung. Berkomentarlah dengan sopan dan bijak sesuai konten.