Breaking News

Sang Juru Kunci



Pak Hamzah duduk di bangku kayu dengan kancing baju terbuka sambil mengusap-usap lengan tangan dan kakinya secara bergantian karena butir-butir debu yang tertempel oleh keringat. Sambil memandangi sapi yang sedang menikmati rumput, Pak Hamzah kemudian melepas bajunya.
Angin dan suhu hari ini begitu membuat Lingga kehausan. Sepulang sekolah, bukannya nasi yang pertama dicarinya melainkan pohon pepaya di belakang rumah.
“Bapak mau makan pepaya?” tanya Lingga sambil menyodorkan sepiring pepaya merah yang matang dan sudah dipotong-potong..
Dengan senang hati Pak Hamzah, ayah Lingga, menerima pepaya itu. “Ayo, kita makan bersama. Bapak juga sedang haus sekali ini.”
“Ayo, Pak,” sahut Lingga sambil menggigit seiris pepaya itu.
Mereka berdua begitu menikmati buah pepaya yang matang dan segar itu. Sambil mengamati badan bapaknya yang berkeringat itu, Lingga melontarkan pertanyaan, “Bapak dari mana, sih? Kok sampai keringatan seperti itu?”
“Bapak dari hutan tadi, Nak.”
“Dari hutan?” Lingga membelalak. “Bukan ke sawah?” tambahnya.
“Eh, iya, Bapak dari sawah juga barusan.” Pak Hamzah agak gugup menjawab pertanyaan anaknya.
“Sawah Bapak ‘kan tinggal menunggu panen padi?” Lingga agak tak percaya akan jawaban Pak Hamzah.
“Ya, tadi memeriksa padi di sawah, lalu mencari kayu di hutan agar Ibu bisa memasak untuk kita.”
Lingga belum juga percaya, lalu ia berkata, “Mana kayunya kalau Bapak memang mencari kayu?”
Pak Hamzah menoleh. Di dekat tempat duduk mereka terdapat semacam panggung rendah yang biasa digunakan untuk menyimpan kayu bakar. Kebetulan pada hari itu panggung tersebut memang agak kosong, masih sama dengan hari sebelumnya.
“Tidak ada ‘kan, Pak, kayunya?” tambah Lingga.
“He-he-he … Bapak sebenarnya hanya jalan-jalan tadi. Refreshing. Eh, belum dapat kayu, sudah keburu siang, akhirnya Bapak pulang.”
“Eh, yang bersama Bapak tadi malam siapa, ya?”
“Tadi malam?” Pak Hamzah menoleh ke arah Lingga.
“Ya, tadi malam. Orangnya tinggi, jenggot dan rambutnya panjang dan memutih. Pakaian dan kain pembungkus sebuah bekal yang dijinjing orang itu serba hitam. Siapa itu, Pak?”
“Mungkin kamu bermimpi tadi malam,” jawab Pak Hamzah.
“Aku lihat sendiri, kok, nggak mimpi.”
Pak Hamzah masih saja mengelak. Lingga berpura-pura melanjutkan keasyikan melahap pepaya segar itu sambil memikirkan cara agar ayahnya mengakui dan mau menceritakan siapa sesungguhnya orang yang misterius tadi malam.
“Pak, sebentar lagi aku mau jalan-jalan, naik ke bukit,” kata Lingga.
“Mau apa ke sana? Di atas sana berbahaya, lo,” sahut Pak Hamzah.
“Aku mau ke bukit, mau mencari orang yang kemarin bertemu Bapak.”
Menurut cerita warga desa, bukit itu sering digunakan sebagai tempat bertapa. Di puncaknya terdapat sebuah gua yang pintu masuknya tak diketahui sembarang orang. Para tamu yang hendak bertapa di gua itu harus diantarkan oleh seorang juru kunci yang hidup di desa di kaki bukit itu. Niat calon petapa harus tulus, hatinya harus bersih. Tidak bisa untuk bermain-main. Pernah ada seorang tamu yang berdusta, katanya hendak bertapa, tapi ternyata hanya berburu binatang untuk dijual di kota. Sang juru kunci pertama, kakek buyut dari Pak Hamzah, marah besar mendengar kejadian itu. Setelah kejadian tersebut, diberlakukanlah syarat-syarat yang lebih berat, di antaranya harus berpuasa dahulu selama 40 hari berturut-turut sebelum naik ke puncak bukit itu.
“Dia sudah tidak ada lagi di sana, Nak,” kata Pak Hamzah.
“Lalu ke mana, Pak? Berarti memang benar, ‘kan, orang itu sama Bapak kemarin?” Lingga tersenyum. Ia berhasil memancing ayahnya agar mau bercerita.
“Mungkin dia pulang,” jawab Pak Hamzah agak kebingungan. Ia tak bisa lagi menyembunyikan bahwa dirinyalah yang mengantar orang misterius itu semalam.
“Berarti memang benar, ‘kan, Bapaklah yang menjadi juru kuncinya sekarang. Ngomong-ngomong, dia akan bertapa berapa lama, Pak?”
“Emm … baiklah, sekarang Bapak mengaku, tapi kamu tidak boleh menceritakan ini kepada siapa pun. Kamu harus janji. Ini tidak boleh dipamerkan kepada siapa pun meskipun sebenarnya orang-orang sudah tahu kalau bapakmu ini dapat wasiat dari Kakek untuk melanjutkan tanggung jawab sebagai juru kunci gua di bukit ini.”
“Baik, Pak, Lingga janji. Kalau begitu Lingga nggak jadi ke sana karena Bapak sudah cerita.”
Hari menjelang sore. Tak terasa pepaya itu telah habis. Tersisa kulitnya saja yang Lingga berikan kepada sapi kesayangannya di kandang. Lingga dan Pak Hamzah beranjak untuk mandi dan sembahyang.
***
Penulis:
Asrul Sanie, tinggal di Temanggung, Jateng.

No comments

Terima kasih telah berkunjung. Berkomentarlah dengan sopan dan bijak sesuai konten.