Breaking News

[Resensi Puisi] Kesumbangan dalam Menyanyikan “Lagu Dusun”

Ditulis oleh Asrul Sanie, sebagai bahan diskusi dan apresiasi puisi di grup facebook Kampung Sastra pada malam 11 Desember 2015.


Sumber gambar: grup Kampung Sastra

Lagu Dusun

i)
Dari dahan, ia bertemu pagi.
Langit (bentang kain biru)
kali, lereng bukit, matahari
yang masih samar
menyemai
hangat

Kuning merembes naik

ii)
Laki-laki tua mengesitkan
sabit
pada batu asah
"Belum berangkat sekolah, Nak?"

Si anak, kelas 2 SD, berjongkok
lantas menguap dan menatap
sayu ke gamping itu:
Beribu laron berhambur
dari lobang tanah
yang gembur, seperti bumi
meniupnya.

"Belum berangkat sekolah, Nak?"

Si Anak bangkit sambil mengucek mata.

iii)
"Satu... dua..."
ia menghitung awan
yang seperti rombongan
kafilah di gurun biru

Burung saling sahut.
Ranting ricuh.

Ketika ia sentuh embun,
ia tersenyum

iv)
Perempuan itu
yang tengah menampi beras
di belakang dapur
berseru,
"uang saku, Nak!"
"Ah, iya, Mak!" sahutnya lekas
berlari-lari

v)
Sambil mengayuh pedal
sepeda ia mengkhayal
dalam hati:

Andaikan saja
kuning matahari
yang merembes di kain langit

Andaikan saja
daun
pepaya selamanya hijau

dan hanya tahu
akan pahit
maka tak lain, aku adalah....

Aku adalah kau.

SH, 2015

Untuk menikmati sebuah lagu yang dimainkan dan /atau dinyanyikan oleh seorang penyanyi atau sekumpulan orang yang membentuk sebuah grup musik, bisa dilakukan dengan mengamati berbagai sudut dari lagu itu sendiri.  Bisa dimulai dari judul, lirik, atau aransemen dan komposisi musiknya. Biasanya para penikmat lagu memiliki selera masing-masing dalam menikmati sebuah lagu, dan tidak menutup kemungkinan, mereka juga mencoba untuk bisa menyanyikannya dengan baik.

Begitu pula dengan menikmati karya sastra—pada kesempatan kali ini, membaca puisi berjudul Lagu Dusun, saya memulainya dari bagian atas, yakni judulnya terlebih dahulu. Lagu Dusun, menurut pemahaman awal saya, puisi ini mungkin sedang akan menceritakan sebuah nyanyian yang berkembang atau berlaku atau populer dalam sebuah dusun tertentu yang dijadikan sebuah lagu wajib yang harus dinyanyikan saat upacara, perlombaan, atau kegiatan masyarakat yang menetap di dusun tersebut.

Apakah benar? Lantas saya melanjutkan perjalanan menuju isi puisi tersebut. Ada beberapa bagian yang dihadirkan penulis untuk membentuk satu kesatuan tubuh puisinya. Kita lihat bagian pertama:

i)

Dari dahan, ia bertemu pagi.
Langit (bentang kain biru)
kali, lereng bukit, matahari
yang masih samar
menyemai
hangat

Kuning merembes naik

Dari bagian ini ada sebuah citraan visual yang menggambarkan pemandangan saat pagi mulai datang. Langit yang masih bersih seperti kain biru yang dibentangkan. Begitu pula kali dan lereng bukit yang mulanya gelap tertutup subuh, kini mulai kelihatan meski samar, dan kemudian disusul hangat sinar mentari yang perlahan naik dari sela dahan yang (mungkin) terlihat dari balik jendela rumah. Memang beginilah suasana pagi di desa, seperti yang sering saya alami, karena saya pun termasuk orang yang tinggal di daerah pedesaan. 

Kemudian, mata pencaharian kebanyakan orang desa adalah bertani dan beternak. Seperti yang diilustrasikan pada bagian kedua berikut ini:

ii)

Laki-laki tua mengesitkan
sabit
pada batu asah

"Belum berangkat sekolah, Nak?"

Si anak, kelas 2 SD, berjongkok
lantas menguap dan menatap
sayu ke gamping itu:
Beribu laron berhambur
dari lobang tanah
yang gembur, seperti bumi
meniupnya.

"Belum berangkat sekolah, Nak?"

Si Anak bangkit sambil mengucek mata.

Sang ayah mengesitkan sabit, pertanda ia bekerja sebagai petani/peternak. Seperti kebanyakan orang desa, aktifitas pertama di pagi hari adalah menyiapkan peralatan untuk bekerja ke sawah atau ke ladang. Entah untuk mencari rumput untuk makanan ternaknya, atau untuk memotong batang padi di sawahnya, atau juga mencari kayu bakar untuk memasak.

Sekarang, jika kita lihat pada pemilihan diksi pada bagian ini, seperti ada pemaksaan—yang menjadikan suara saya sumbang dalam menyanyikan Lagu Dusun ini, sebab kata “mengesitkan” ini tidak memiliki arti yang spesifik. Dari mana kata ini diambil? Apakah dari kata “kesit” yang diberi imbuhan me-an? Atau mungkin hanya saya yang tidak bisa mencari dari mana kata itu berasal? Mungkin saja.

“Belum berangkat sekolah, Nak?” kata ayahnya. Ada kepedulian sang ayah kepada anaknya agar lekas bangun dan melaksanakan kegiatan rutinnya sebagai pelajar. Tapi, apakah hanya demikian perlakuan orangtua kepada anaknya yang usianya pun belum genap sepuluh tahun? Umumnya, orangtua yang perhatian, akan senantiasa mendampingi anaknya sejak bangun tidur hingga malam hari, sejak mandi pagi hingga tidur kembali. Anak kelas 2 SD masih butuh dituntun, belum cukup hanya diisyarati dengan satu dua kata.

Bagian-bagian selanjutnya menunjukkan perilaku anak yang sedang menikmati pagi itu. Ia merasakan sejuknya embun yang membuatnya tersenyum, sambil menghitung gumpalan-gumpalan awan yang berderet seperti musafir yang berkelompok-kelompok melewati sebuah gurun. Tapi, menurut saya hanya merupakan penggambaran yang ‘kurang perlu’.   

iii)

"Satu... dua..."
ia menghitung awan
yang seperti rombongan
kafilah di gurun biru

Burung saling sahut.
Ranting ricuh.

Ketika ia sentuh embun,
ia tersenyum

Lebih baik kita langsung ke bagian ini:

iv)

Perempuan itu
yang tengah menampi beras
di belakang dapur
berseru,
"uang saku, Nak!"
"Ah, iya, Mak!" sahutnya lekas
berlari-lari

Ternyata, ibunya pun begitu. ia hanya mengurusi berasnya sebelum anaknya benar-benar siap untuk pergi belajar. Perhatian ibu kepada anaknya sangat perlu, tidak hanya sebatas memberi uang saku. Maka, kemudian si anak (mungkin) mengungkapkan kekesalannya pada bagian terakhir ini:

v)

Sambil mengayuh pedal
sepeda ia mengkhayal
dalam hati:

Andaikan saja
kuning matahari
yang merembes di kain langit

Andaikan saja
daun
pepaya selamanya hijau

dan hanya tahu
akan pahit
maka tak lain, aku adalah....

Aku adalah kau.

Si anak berandai-andai. Ada kontradiksi psikologis yang terjadi jika dilihat dari caranya berandai-andai. Ia seperti orang dewasa, bukan anak kelas 2 SD lagi. Barangkali maksud yang ingin disampaikan adalah tentang perandaian yang dialami anak tersebut, seandainya anak-anak yang lain pun mengerti keadaannya. Keadaan yang menjadikan dirinya merasa ‘kurang’, yang disebabkan kurangnya perhatian orangtua, atau bisa saja disebabkan kurangnya wawasan dan pengalaman orangtua dalam mendidik anaknya.

Melewati setiap bagian (kejadian) dalam puisi, saya merasa suara saya ‘sumbang’ dalam menyanyikan Lagu Dusun ini. Menyelami judul dan isinya serasa tidak selaras. Dusun adalah sebuah wilayah kecil, atau sering juga disebut dukuh, yang merupakan bagian dari wilayah desa. Lagu adalah nyanyian, atau—jika ingin disinkronkan dengan isi puisinya—bisa juga diartikan sebagai tingkah laku. Jadi, Lagu Dusun ini dimaksudkan untuk menggambarkan tingkah laku manusia, penghuni dusun itu. Namun yang kita temukan di sini adalah tingkah laku dalam sebuah keluarga, bukan dalam sebuah dusun. Peristiwa, permasalahan, atau pengalaman dalam sebuah keluarga tidak bisa langsung di-overgeneralisasi-kan begitu saja sebagai peristiwa, persmasalahan, atau pengalaman dalam sebuah dusun. Sebab, sangat mungkin, bahkan pasti, apa yang dialami keluarga satu dengan yang lainnya dalam dusun itu berbeda-beda.

Pelajaran yang bisa dipetik adalah tentang pentingnya orangtua dalam mendampingi anaknya, agar anak tersebut tidak merasa sendiri, tidak merasa kurang perhatian dan kasih sayang, sejak pagi hingga malam, sejak bangun hingga tidur kembali. Biasanya anak yang kurang perhatian itu dialami oleh anak-anak dari keluarga ‘kaya’ yang orangtuanya super sibuk, tapi di sini kita temui, seorang anak dari keluarga petani yang tinggal di pedesaan juga mengalami hal tesebut. Menurut pengamatan saya, hal itu disebabkan dari kurangnya wawasan dan pengalaman, sebab orang desa—apalagi era dahulu—sangat jarang yang bisa menyelesaikan pendidikannya meskipun hanya di tingkat SD, maka SDM-nya pun rendah. Akibatnya, berimbas pada kepekaan dirinya tentang pentingya pendidikan menjadi rendah pula.


Sekian.

Asrul Sanie, tinggal di Temanggung, Jateng. Karyanya, baik puisi maupun cerpennya, telah terbit dalam beberapa antologi bersama. Buku antologi puisi tunggalnya yang baru terbit berjudul Petrikor di Pelataran.

No comments

Terima kasih telah berkunjung. Berkomentarlah dengan sopan dan bijak sesuai konten.